Tuesday, September 6, 2011

Sejarah Kopi di Indonesia

Kopi
Diperkirakan para peziarah muslim yang kembali dari Timur Tengah membawa biji kopi mereka ke India pada awal abad 16. Pada catatan tertulis bahwa Gubernur Belanda di Malabar (India) mengirim bibit kopi Yemen atau kopi Arabica kepada Gubernur Belanda di Batavia (sekarang Jakarta) pada tahun 1696. Karena banjir di Batavia benih pertama yang dikirim gagal tumbuh. Pengiriman benih kopi kedua dilakukan pada tahun yang sama dan dapat tumbuh dengan baik. Pada tahun 1711, exsport pertama dikirim dari Java ke Eropa oleh Perdagangan Timur India yang dikenal sebagai VOC (Verininging Oogst-Indies Copmany), yang dibentuk pada tahun 1602. Dalam 10 tahun berikutnya, eksport meningkat menjadi 60 ton per tahunnya. Indonesia merupakan negara pertama diluar Arab dan Etiopia yang menanan secara besar-besaran. VOC memonopoli perdagangan kopi pada tahun 1725 sampai 1780.

Logo VOC
Melalui pelabuhan Batavia kopi dikirimkan ke Eropa. Semenjak 397 SM, ketika Raja Purnawarman mendirikan kota tersebut yang ia sebut Sunda Kelapa, telah berdiri sebuah pelabuhan di muara sungai Ciliwung. Dewasa ini, di daerah kota Jakarta, seseorang dapat menemukan gema-gema dari warisan yang mengarungi lautan dan membangun kota tersebut. Musium Bahari menduduki suatu gudang pendahulu dari VOC, yang digunakan untuk menyimpan rempah-rempah dan kopi. Menara Syahbandar dibuat sekitar tahun 1839 untuk menggantikan tiang bendera yang berada di kantor kepala syahbandah, dimana kapal-kapal VOC mengisi muatan mereka.

Pada tahun 1700, kopi yang dikirim dari Batavia dijual dengan harga 3 Gulden per kilogram di Amsterdam. Dikarenakan Pendapatan tahunan di Holland pada tahun 1700-an adalah antara 200 sampai 400 Golden, yang sekarang ini sama dengan beberapa ratus dollar per kilogramnya. Pada akhir tahun 1800-an , harga kopi jatuh sampai 0.6 Golden per kilogram dan kebiasaan meminum kopi ini pun menyebar dari kaum elit kepada masyarakat biasa.

Perdagangan kopi sangat menguntungkan bagi VOC, namun tidak demikian dengan para petani kopi Indonesia yang dipaksa oleh pemerintah kolonial. Sebenarnya, ekspor produksi perkebunan ditujukan untuk menyediakan uang tunai bagi rakyat desa di Jawa sebagai penghasilan untuk membayar pajak mereka, teori ini dikenal dengan nama Culturstelsel (Sistem Penanaman), dan didalamnya termasuk rempah-rempah dan cakupan luas dari hasil bumi lain yang diproduksi oleh Negara tropis. Pada produk kopi dimulailah Cultur Stelsel di daerah Preanger Jawa Bara. Namun, dalam prakteknya pemerintah kolonial mematok harga yang sangat rendah dan mereka pun mengalihkan para pekerja dari memproduksi beras ke kopi. Hal ini yang menyebabkan para petani menderita.

Pertenganan abad ke17 di daerah Sumatera, Bali, Sulawesi dan Timor, VOS memperluas kebun kopi arabica. Tahun 1750 kopi pertama ditanam di Sulawesi. Kopi pertama ditanam di dekat danau Toba pada tahun 1888 di daerah Dataran Tinggi Sumatera Utara yang diikuti oleh Aceh daerah Dataran Tinggi Gayo dekat denga danau Laut Tawar Lake sekitar tahun 1924.

Kebun Kopi

Pada tahun 1860, Eduard Douwes Dekker pejabat kolonial Belanda, menulis sebuah buku yang berjudul "Max Havelaar dan Lelang Kopi pada Perusahaan Perdagangan Belanda", yang membahas masalah tentang tekanan terhadap rakyat desa yang dilakukan oleh pejabat-pejabat koruptor dan tamak. Buku ini membantu opini masyarakat Belanda pada "Sistim Penanaman "dan kolonialisme secara umum. Salah-satu organisasi perdagangan pasar bebas, baru-baru ini mengadopsi nama Max Havelar.

Pada akhir abad ke-18, kolonialis Belanda mendirikan perkebunan besar di daerah Ijen Plateau Jawa Timur. Namun, karena penyakit karat daun yang menyerang Indonesia melenyapkan hampir seluruh kultivar Typica pada tahun 1876. Pada tahun 1900-an Kopi Robusta (C. Canephor variasi Robusta) diperkenalkan di Jawa Timur sebagai penggantinya terutama untuk ketinggian-ketinggian yang lebih renda, karena serangan karat daun yang parah.

Petani di seluruh Indonesia mulai menanam kopi sebagai hasil bumi yang diperdagangkan pada tahun 1920. Perkebunan-perkebunan di Jawa dinasionalisasikan pada hari kemerdekaan dan diperbaharui oleh variasi-variasi baru dari Kopi Arabika pada tahun 1950. Variasi ini juga diadopsi oleh para petani penggarap lewat pemerintah dan berbagai program pembangunan. Sekarang ini, lebih dari 90% dari kopi-kopi Arabika Indonesia yang dihasilkan oleh para petani di Sumatera Utara, di kebuh yang luasnya rata-rata hampir 1 hektar. Produksi kopi arabika tahunan adalah sekitar 75,000 ton dan 90 % yang ditujukan untuk ekspor. Kopi-kopi arabika dari negara kebanyakan mempunyai segmen pasar khusus .

 
© Copyright 2035 Kopi Luwak
Theme by Yusuf Fikri